Fikih Dan Praktik Ibadah Thaharah

 BAB 1

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam hukum islam terdapat suatu hal dimana segala seluk beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang sangat penting yakni bersuci, atau dalam fiqih disebut dengan thaharah. Yang dimaksud dengan thaharah ini tidak hanya suci secara lahiriyah, namun dapat juga membersihkan secara batiniyah. Thaharah lebih sering dimaknai sebagai suatu hal yang dilakukan sebelum beribadah kepada Allah SWT saja, ataupun suatu cara untuk menghilangkan hadas dan juga najis. Tetapi thaharah juga berkaitan erat dengan kebersihan dalam menjaga kesehatan diri dan keindahan lingkungan. Sering kali kita sebagai manusia lalai dalam hal menjaga kebersihan.

Kebersihan merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah kehidupan, dimana dengan kebersihan hidup akan terasa nyaman dan aman. Kebersihan sendiri juga merupakan wujud nyata dari ibadah thaharah. Maka dari itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai thaharah. Terlebih-lebih kita adalah sebagai orang muslim, dan di dalam agama kita dikatakan bahwa islam menuntut pemeluknya untuk senantiasa dalam keadaan suci, baik itu suci secara lahiriyah maupun suci secara batiniyah. Karena Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang memelihara kesucian dirinya

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian thaharah ?

2.      Apa saja macam-macam air?

3.      Bagaimana kaifiyat (cara) thaharah dari najis dan hadas ?

4.      Bagaimana penjelasan mengenai wudlu’, dan mandi besar ?

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Menjelaskan pengertian thaharah.

2.      Menjelaskan macam-macam air

3.      Menjelaskan tentang thaharah dari najis dan hadas.

4.      Menjelaskan tentang wudlu’, dan mandi besar.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Thaharah

Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata ataupun yang tidak kasat mata, seperti aib dan dosa.[1] Kata thatharah sendiri berasal dari kata thahara-yathhuru-thahuran-thaharatan yang berarti suci.

Kemudian secara terminologi ath thaharah adalah bersih atau suci dari najis baik najis faktual semisal tinja maupun najis secara hukmi, yaitu hadats. Dalam buku Fiqih Ibadah yang ditulis oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas juga menyebutkan definis lain bahwa thaharah adalah sifat hukmiyyah yang diperbolehkan karenanya segala sesuatu yang dicegah oleh hadast atau yang mengandung hukum menjijikkan.

Menurut istilah fiqih, thaharah adalah menghilangkan hadast atau najis yang menghalangi shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadast dan najis) dengan tanah. Dengan kata lain, thaharah adalah keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya hadats atau kotoran.[2]

 

B.     Macam-Macam Air

Air dibagi menjadi empat macam:

1.      Air mutlak yakni air yang suci lagi menyucikan dan tidak makruh untuk bersuci. Air mutlak ini bisa untuk menghilangkan hadas dan najis.

2.      Air musyammas yakni air yang kena sinar matahari sampai panas. Air ini suci menyucikan, tapi makruh untuk dipakai bersuci.

3.      Air musta'mal yakni, air yang telah dipakai untuk bersuci. Air ini suci tapi tidak menyucikan, tidak boleh dipakai untuk bersuci. Tetapi kalau belum berubah rasa dan baunya masih tetap suci.

4.      Air najis yakni air yang sedikit atau banyak yang terkena najis sehingga berubah rasa atau baunya. Kalau air itu sedikit, menjadi najis sebab bercampur dengan najis baik keadaan berubah atau tidak. Tetapi kalau air itu banyak menjadi najis sebab bercampur dengan barang najis sampai berubah rasa atau baunya.[3]

Yang dimaksud air sedikit di sini adalah air yang kurang dari dua kulah. Ukuran kulah yakni sekitar 200 liter.

 

C.    Thaharah dari Najis dan Hadas

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya pada pengertian thaharah, yakni suci atau suatu kedaan dimana hadas dan kotoran sudah hilang. Selanjutnya adalah pemahaman mengenai najis najis dan hadas, dimana kedua hal tersebut merupakan hal yang menjadi penyebab wajibnya thaharah atau bersuci.

Najis adalah suatu kotoran seperti darah, tinja, atau kotoran hewan. Sedang hadas adalah keadaan yang menghalangi seseorang dalam melakukan sesuatu yang diwajibkan Allah, dan juga sunnah Rasul.[4] Secara garis besar najis dibagi menjadi dua macam, yaitu najis hakiki dan najis hukmi. Najis hakiki adalah kotoran yang menghalangi keabsahan sholat tanpa ada keringanan, seperti darah dan kotoran manusia. Sedangkan najis hukmi adalah hadas kecil yang harus dihilangkan dengan wudlu’ dan hadas besar dihilangkan dengan mandi.

Ø Media atau alat yang digunakan untuk bersuci banyak sekali. Diantaranya adalah :

·         air (al-ma’)

·         alat untuk menyamak (ad dibqh)

·         debu (at turab), menggosok (ad dalk)

·         menggaruk (al fark)

·         dan lain-lain

Ø  Bersuci ada dua bagian:

·         Bersuci dari hadas. Bagian ini khusus untuk badan seperti mandi, berwudlu’, dan tayammum.

·         Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat (Rasjid, 1986:13).

Ø  Hadas dibagi menjadi dua yakni hadas besar dan hadas kecil.

·         Hadas besar yaitu seperti keluarnya darah haid, nifas, junub, wiladah, dan sperma.

·         Hadas kecil seperti kencing, buang air besar, bersentuhan lawan jenis, dan lain lain.

Ø  Cara Thaharah dari Hadas

·         Hadas besar cara mensucikannya yaitu dengan mandi wajib.

·         Hadas kecil cara mensucikannya sukup dengan berwudlu’ atau tayammum.

 

D.    Macam-Macam Najis

·         Najis mugallazah (tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah dibasuh tujuh kali, dan salah satu diantaranya hendaklah dibasuh dengan air yang dicampur dengan tanah.

·         Najis mukhaffafah (ringan), misalnya kencing anak laki-laki yang belum makan makanan lain selain ASI. Cara mencucinya pun cukup memercikkan air pada benda yang terkena najis tersebut meskipun airnya tidak mengalir. Adapun kencingnya anak perempuan yang belum makan makanan lain selain ASI, cara mencucinya dibasuh dengan air yang mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya.

·         Najis mutawassitah (pertengahan), najis ini terbagi menjadi dua macam yaitu najis hukmiyah dan ainiyah.

·         Najis hukmiyah: najis yang kita yakini adanya , meskipun zat, bau, rasa dan warnanya sudah hilang. Cara mencucinya cukup mengalirkan ir diatas benda tersebut.

·         Najis ainiyah, najis yang masih ada zat, bau, rasa dan warnanya. Cara mencucinya pun dengan menghilangkan zat, bau, rasa, dan warnanya.[5]

 

E.     Istinja’

Istinja’ juga merupakan salah satu cara thaharah dari hadas kecil. Istinja’ berarti mencuci tempat keluar kotoran dari satu jalan, qubul (depan) dan dubur (belakang), atau mengusap dengan batu dan semisalnya. Menuru tiga imam, istinja’ wajib dilakukan sebelum melakukan sholat. Menurut Rahman Ritonga,  dalam bukunya, beliau menyatakan bahwa istinja’ adalah membasuh dengan air atau menyapu dengan batu. Secara khusus membersihkan najis dengan batu atau benda-benda keras lainnya disebut dengan istijmar, dan hukum keduanya adalah wajib menurut jumhur ulama.

Tidak diperbolehkan membersihkan najis tinja maupun air kencing menggunakan media tulang, kotoran hewan yang sudah mengeras (membatu), dan batu yang Menurut Asy Syafi’i, tidak ada keharusan beristinja’ menggunakan batu atau air kecuali setelah dirinya keluar kotoran, baik dari jalan depan atau jalan belakang.[6] Secara ringkasnya thaharah dari najis dapat dilakukan dengan istinja’, memercikkan air, mencuci atau membasuh dengan air dan menyamak (untuk najis berat). Untuk thaharah dari hadas dapat dilakukan dengan wudlu’ tayammum, dan mandi besar.

 

F.     Wudlu’

Perintah wajib wudlu’ bersamaan dengan perintah wajib shalat lima waktu. Secara etimologis berarti kebersihan (annadhofah). Kamil Musa mendefinisikan wudlu secara terminologi yakni sifat yang nyata (suatu perbuatan yang dilakukan dengan anggota-anggota badan yang tertentu) yang dapat menghilangkan hadas kecil yang ada hubungannya dengan shalat atau ibadah yang lain yang berhubungan dengan Allah.[7]

Hukum beberapa wudlu menurut golongan Hanafiah :

·                     Fardu, yaitu bagi orang-orang yang berhadas apabila hendak melaksanakan shalat, baik itu shalat fardu ataupun shalat sunat, dan bagi orang yang akan menyentuh Al Qur’an walaupun satu ayat yang tertulis pada selembar kertas.

·                     Wajib, yaitu untuk tawaf disekeliling ka’bah.

·                     Mandub (sunat), pertama, membaharui wudlu’ setiap akan melaksanakan shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunat.

·                     Makruh, seperti mengulabgi wudlu’ sebelum melaksanakan shalat dengan wudlu’ yang pertama.

·                     Haram, seperti berwudlu’ dengan air yang dirampas atau berwudlu’ dengan air anak yatim.

1.      Syarat-syarat Wudlu’

·         Islam

·         Mumayiz

·         Tidak berhadas besar

·         Air suci mensucikan

·         Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit

2.      Rukun Wudlu’

·         Niat

·         Membasuh muka

·         Membasuh dua tangan sampai siku

·         Menyapa sebagian kepala

·         Membasuh dua telapak kaki

·         Tertib

3.      Sunah Wudlu’

·         Membaca basmalah

·         Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan sebelum berkumur

·         Berkumur

·         Memasukkan air ke hidung

·         Menyapu seluruh kepala

·         Menyapu kedua telinga luar dan dalam

·         Menyela-nyela jari kedua tangan dan menyela-nyela jari kedua kaki

·         Mendahulukan anggota kanan

·         Membasuh setiap anggota tiga kali

·         Jangan bercakap-cakap

4.      Hal-Hal yang Membatalkan Wudlu’

·         Keluar sesuatu dari dua jalan atau salah satunya

·         Hilang akal dan tidur

·         Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan dan Menyentuh kemaluan dngan telapak tangan.

 

G.    Mandi Besar (Wajib)

Allah mewajibkan mandi disebabkan janabah. Menurut lisan arab bahwa janabah identik dengan bersetubuh (jima’) sekalipun dalam bersetubuh tidak disertai keluarnya sperma. Abu Musa Al Asy’ari bertanya kepada Aisyah tentang bertemunya kemaluan laki-laki dan perempuan, lalu Aisyah memberi jawaban berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Apabila kemaluan laki-laki dan perempuan bertemu maka wajib mandi.” [8]

Beberapa hal yang dipandang wajib melakukan mandi besar menurut para ahli fiqih adalah sebagai berikut :

1.      Jima’ (bersetubuh)

Allah mewajibkan mandi bagi seseorang yang sedang junub. Aisyah r.a berkata: bahwa apabila Rasulullah  mandi janabah, beliau membasuh kedua tangannya lalu berwudlu seperti wudlu untuk melaksanakan shalat. Kemudian beliau memasukkan jemari tangannya ke dalam air. Lalu menyela-nyela pangkal rambutnya dengan jemari itu. Kemudian beliau menuangkan ke atas kepalanya dua ember air dengan kedua tangannya lalu beliau meneteskan air ke seluruh kulitnya.

2.      Keluar mani (sperma)

Para ahli fiqih dari golongan Hanabilah menetapkan bahwa kewajiban mandi itu semata-mata disebabkan keluarnya mani tanpa mempertimbangan apakah keluar karena persetubuhan atau dengan sendirinya.

3.      Bermimpi keluar mani

4.      Darah haid atau nifas

5.      Meninggal dunia seorang muslim

  

 BAB 3

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata ataupun yang tidak kasat mata, seperti aib dan dosa. Kata thatharah sendiri berasal dari kata thahara-yathhuru-thahuran-thaharatan yang berarti suci. Secara terminologi ath thaharah adalah bersih atau suci dari najis baik najis faktual semisal tinja maupun najis secara hukmi, yaitu hadats. Dengan kata lain, thaharah adalah keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya hadats atau kotoran.

Sejatinya semua perbuatan yang bernilai positif akan mendatangkan manfaat tersendiri, terlebih-lebih jika perbuatan tersebut adalah perintah Allah SWT yang pastinya bernilai ibadah, seperti thaharah. Thaharah juga memiliki hubungan dengan kebersihan, kesehatan, dan juga keindahan lingkungan. Kita sendiri terkadang sangat menginginkan kebersihan  disekitar kita, namun sering sekali lalai dalam menjaga kebersihan.Jika dihubungkan dengan islam, kebersihan dan keindahan lingkungan ini merupakan wujud nyata dari ajaran thaharah.

B.     Saran

Demikian makalah tentang “Thaharah” ini kami buat. Semoga makalah ini dapat diterima dan dipahami oleh para pembaca, dan juga membawa manfaat barokah untuk kehidupan yang selanjutnya. Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempurna, dan masih memerlukan kritik dan juga saran dari para pembaca. Maka dari itu kritik dan saran akan kami tunggu dan akan kita jadikan sebagai pelajaran dan juga bekal untuk kedepannya.

 

 Daftar Pustaka

 

Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqih Ibadah. Jakarta: AMZAH.

 

Muchtar, Asmaji. 2014. Fatwa-Fatwa Imam Asy Syafi’i. Jakarta: AMZAH.

 

Mulkhan, Abdul Munir. 1994. Teologi dan Fiqih. Yogyakarta: ROIKHAN.

 

Rasjid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.

 

Ritonga, Rahman dan Zainuddin.1997. Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama



[1] Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqih Ibadah. Jakarta: AMZAH. 122

[2] Ibid, hlm: 123

[3] Muchtar, Asmaji. 2014. Fatwa-Fatwa Imam Asy Syafi’i. Jakarta: AMZAH, hlm: 78

[4] Mulkhan, Abdul Munir. 1994. Teologi dan Fiqih. Yogyakarta: ROIKHAN, hlm: 90

 

[5] Rasjid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, hlm: 132

[6] Muchtar, Asmaji. 2014. Fatwa-Fatwa Imam Asy Syafi’i. Jakarta: AMZAH, hlm: 144

[7] Ritonga, Rahman dan Zainuddin.1997. Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm: 156

[8] Ritonga, Rahman dan Zainuddin.1997. Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm: 178

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama