BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di zaman sekarang, dapat dipahami
bahwa penerimaan hadist mutawatir tidak
membutuhkan proses seperti hadist ahad. Cukup dengan bersandar pada jumlah,
yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa.
Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang bernama
Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info tersebut
benar.
Menurut para
ulama, sebuah hadist mutawatir diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi di setiap
generasi sudah cukup bukti sebagai
riwayat yang terpercaya atau shahih. Para ulama berbeda pendapat mengenai
jumlah perawi pada setiap tingkatan yang harus dipenuhi oleh sebuah hadist
mutawatir. Beberapa ulama menentukan jumlah sampai tujuh puluh, ada yang empat
puluh, ada yang dua belas, dan bahkan ada ulama yang mengatakan cukup empat.
Tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan sarjana muslim tentang kehujahan (otoritas argumentasi) hadist
mutawatir, karena dianggap meghasilkan ilmu dan keyakinan dan bukan praduga
(zhanni).
1.2 Tujuan
Penulisan
·
Mengetahui klasifikasi hadits dalam jumlah perawi.
·
Mengetahui makna
hadits mutawatir,lafdzi,maknawi,dan amaliy.
1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari
makalah ini adalah:
Untuk
menambah pengetahuan pembaca tentang
klasifikasi Hadits dari jumlah perawi,dan
menjadikannya pembelajaran serta kontribusi positif terhadap pembaca dan
penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hadist Muttawatir
Menurut
bahasa, kata al-mutawatir
adalah isim fa’il berasal
dari mashdar ”al-tawatur´ semakna
dengan ”at-tatabu’u” yang
berarti berturut-turut atau beriring-iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang
berarti hujan turun berturut-turut.
Menurut
istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi
pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak
mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.
Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan banyak
sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat berkumpul
jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist itu.
3 syarat bagi Mutawatir yaitu:
1. Mesti banyak sanadnya
2.
Mesti sama banyak rawinya dari
permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad, umpamanya, dipermulaan sanad yang mencatat 50 orang, maka dipertengahan sanadnya,
sedikitnya mesti 50 rawi dan diakhir sanad sahabat yang mendengar dari Nabi SAW
pun sedikitnya mesti 50 orang
3. Mesti menurut pertimbangan akal bahwa tidak biasa jadi rawi-rawi itu berkumpul bersama-sama, lalu mereka berdusta mengatakan
itu sabda Nabi kita, maupun berkumpulnya itu dengan disengaja atau kebetulan.
2.2
Syarat-syarat Hadist Mutawatir
Dengan
definisi di atas, dipahami bahwa suatu hadist biasa dikatakan mutawatir apabila telah
memenuhi 4 syarat, yakni:
1.
Jumlah perawinya harus banyak. Para
ulamanya berbeda pendapat dalam mnentukan jumlah minimalnya, dan menurut
pendapat yang terpilih minimal 10 perawi.
2.
Perawi yang banyak ini harus
terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad.
3.
Secara rasional dan menurut
kebiasaan (adat), para perawi-perawi tersebut mustahil sepakat untuk berdusta.
4.
Sandaran beritanya adalah
panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam
meriwayatkan sebuah hadist, seperti kata: سمعنا (kami telah mendengar), رأينا (kami telah
melihat), لمسنا (kami telah menyentuh) dan lain sebagainya. Adapun jika
sandaran beritanya adalah akal semata, seperti: pendapat tentang alam semesta
yang bersifat huduuts (baru), maka hadist tersebut tidak dinamakan
mutawatir.
2.3 Nilai
Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir itu mengandung nilai “dlaruriy”. Yakni suatu
keharusan bagi manusia untuk mengakui kapasitas kebenaran suatu hadist, seperti
halnya seseorang yang telah menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala
sendiri. Bagaimana mungkin dia ragu-ragu atas kebenaran sesuatu yang disaksikan
itu? Demikian juga dengan nilai hadist mutawatir,
semua hadist mutawatir bernilai maqbul (dapat diterima sebagai dasar
hukum) dan tidak perlu lagi diselidiki keadaan perawinya.
2.4 Hukum Hadist Mutawatir
Hadist
mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan informasi yang
pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang
mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang
yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas
dan pasti bersumber dari Rasulullah.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir tidak membutuhkan proses seperti hadist ahad.
Cukup denga bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini
kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa
ada sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah
melihatnya namun kita tetap yakin bahwa
info tersebut benar.
2.5
Keberadaan Hadist Mutawatir
Ibnu Shalah
berpendapat bahwa hadist mutawatir jumlahnya tidak banyak. Pendapat ini
dibantah keras oleh Ibnu Hajar, “orang yang
mengatakan bahwa hadist mutawatir
jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius mengkaji hadist”.
Para ulama
kemudian berusaha mengakurkan dua pendapat ini. Apabila yang dimaksud oleh Ibnu Shalah adalah hadist mutawatir lafdzi, maka pendapat itu ada benarnya, karena keberadaan hadist mutawatir lafdzi realitanya memang tidak banyak.
Ibnu Hajar tatkala mengatakan bahwa hadist mutawatir jumlahnya banyak, juga ada
benarnya, jika yang dimaksud adalah hadist mutawatir maknawi atau mutawatir
secara umum.
2.6 Macam-macam Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir terdiri dari
2 macam, yakni :
1. Mutawatir
Lafdzi
Lafdzi
artinya secara lafadz. Jadi Mutawatir Lafdzi itu ialah Mutawatir yang lafadz
hadistnya sama atau hampir bersamaan atau hadist mutawatir yang berkaitan
dengan lafal perkataan Nabi. Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang
banyak kepada orang banyak.
Contoh :
من كذب علي متعمدافليتبوأمقعده من النار
Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka
hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.
Keterangannya :
1. Hadist ini diriwayatkan orang dari jalan seratus sahabat Nabi SAW.
2. Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut
tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini :
من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النار (ابن ماجه)
Artinya :Barang siapa
mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka (Ibnu Majah).
Dan ada lagi begini :
ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم)
Artinya :Dan
barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka (Hakim).
Maknanya semua sama. Perbedaan
lafadz itu timbulnya boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
3. Dari ketiga contoh itu, tahulah kita bahwa yang dinamakan Mutawatir Lafdzi
tidak mesti lafadznya semua sama-sama betul.
4.
Hadist tersebut diriwayatkan
oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist, diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu
Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.
Gambaran
sanadnya dari 10 imam yang tersebut, kalau kita susun akan terdapat begini :
AL-BUKHARI
(1)
·
Musa
· Abu ‘Awanah
·
Abu Hushain
·
Abu Shalih
·
Abu Hurairah
|
MUSLIM
(2)
· Ali ibn Al-Hidjr
· Ali ibn Musir
·
Muhammad ibn Qais
·
Ali ibn Rabi’ah Al-Mughirah
|
AD-DARIMY
(3)
· Muhammad ibn Isa
·
Haitsam
·
Abu Zubair
·
Zabir
|
ABU DAWUD
(4)
· Amr ibnu Aun
· Musaddad
· Wabrah
· ‘Amir
· ‘Abdullah ibn Az-Zubair
· Az-Zubair
|
IBNU MAJAH
(5)
· Muhammad ibnu Ramh
·
Al-Laits
·
Ibnu Shihab
·
Anas
|
At-Tirmidzi
(6)
·
Abu Hisyam
·
Abu Bakar ibn Ajjaz
·
‘Ashim
·
Zirr
·
Ibnu Mas’ud
|
Ath-Thajalisy
(7)
·
Abdurrahman
·
Abi Zinad
·
Amir ibn Sa’ied
· Utsman
|
Abu
Hanifah
(8)
·
Athijah
·
Abi Sa’ied Al-Khudri
|
Ath-Thabarani
(9)
·
Abu Ishaq
·
Ibrahim
·
Nubaith ibn Syarieth
|
Al-Hakim
(10)
·
Abul Fad-l ibn Al-Husain
·
Muhammad ibn A. Wahhab
·
Ja’far ibn ‘Aun
·
Abu Hajjan
·
Jazid ibn Hajjan
·
Zaid ibn Arqam
|
5. Cobalah perhatikan 10 gambaran sanad di atas, diantara rawi-rawinya tidak
ada seorang pun yang sama, semua berlainan.
6.
Selain dari hadits tersebut,
ada banyak lagi yang temasuk dalam mutawatir lafdzi, sebagaimana kata imam Sayuti.
Berikut ini
disebutkan enam hadist :
نضر الله امرء سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلغها (رواه الترميذي)
Artinya : Mudah-mudahan Allah akan berbuat baik kepada orang yang mendengar
sabdaku, lalu ia peliharanya dan menjaganya serta menyampaikannya (kepada
manusia). (HR. Turmudzi)
إ ن القرﺁن انزل علي سبعة احرف (رواه النسائ)
Artinya : Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf (HR. Nasai)
من بني لله مسجدا بني الله له بيتا في الجنة (رواه التبراني)
Artinya : Barang siapa mendirikan sebuah mesjid karena Allah, maka Allah
akan mendirikan baginya sebuah rumah di surga (HR. Thabarani)
كل شراب اسكر فهو حرام (رواه البخار)
Artinya : Tiap-tiap minuman yang memabukkan , maka dia itu haram (HR.
Bukhari)
إن الاٍسلام غريبا وسيعوده غريبا (رواه الدارمي)
Artinya : Sesungguhnya agama Islam itu timbul dengan keadaan asing dan akan
kembali dengan asing (juga) (HR. Darimi)
كل ميسر لما خلق له (رواه البخاري)
Artinya : Tiap-tiap orang dimudahkan kepada apa yang sudah ditakdirkan
baginya (HR. Bukhari)
7. Mutawatir Lafdzi ini sebenarnya tidak termasuk dalam pembelajaran ilmu
Hadist, karena rawi-rawi yang menceritakan Hadist itu tidak perlu diperiksa dan
dibahas lagi, sebab tida syarat Mutawatir 37 sudah memadai untuk menetapkan
keyakinan kita akan benarnya dari Nabi SAW.
2. Mutawatir Ma’nawi
Ma’nawi artinya secara ma’na. mutawatir ma’nawi ialah mutawatir pada ma’na,
yaitu beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau
satu perbuatan. Ringkasnya, beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu
ma’na atau tujuan atau hadist mutawatir ialah hadist yang menyangkut amal
perbuatan nabi, artinya perbuatan nabi
yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak lagi.
Contoh:
Sembahyang
maghrib tiga rakaat.
Keterangan :
1)
Satu riwayat menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri sendiri) nabi sembahyang tiga rakaat.
2)
Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam safar nabi sembahyang maghrib tiga
rakaat.
3)
Satu riwayat membayangkan bahwa di
Mekkah nabi sembahyang maghrib tiga rakaat.
4)
Satu riwayat mengatakan nabi sembahyang maghrib di Madinah tiga rakaat.
5)
Satu riwayat mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib tiga rakaat, diketahui oleh nabi.
6)
Dan lain-lain lagi.
Semua cerita
tersebut ceritanya berlainan, tetapi maksudnya satu yakni menunjukkan dan
menetapkan bahwa sembahyang maghrib itu tiga rakaat.
Menurut para ulama, sebuah hadist mutawatir diriwayatkan oleh sejumlah
besar perawi di setiap generasi sudah cukup bukti sebagai riwayat yang terpercaya atau shahih.
Jadi, tawatur bukanlah bagian “ilm al-isnad” yang menguji watak perawi dan cara
periwayatan hadist, dan mendiskusikan keshahihan hadist atau kelemahannya untuk
diterima atau ditolak. Sebuah hadist mutawatir, menurut para ulama, hanya untuk
dipraktikkan, sedang historisasinya tidak perlu didiskusikan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah perawi pada setiap tingkatan
yang harus dipenuhi oleh sebuah hadist mutawatir. Beberapa ulama menentukan
jumlah sampai tujuh puluh, ada yang empat puluh, ada yang dua belas, dan bahkan
ada ulama yang mengatakan cukup empat.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana muslim tentang kehujahan
(otoritas argumentasi) hadist mutawatir, karena dianggap meghasilkan ilmu dan
keyakinan dan bukan praduga (zhanni).
3. Hadist Mutawatir ‘Amali
Hadist mutawatir ‘amali adalah hadist mutawatir yang
menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan
oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan
oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.
Dalam artian, segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama adalah termasuk dalam kelompok hadist mutawatir ‘amali ini. Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘id, dan kadar zakat harta.
Dalam artian, segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama adalah termasuk dalam kelompok hadist mutawatir ‘amali ini. Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘id, dan kadar zakat harta.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat di ambil
kesimpulan bahwa:
hadis mutawatir adalah hadist
yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada semua thabaqat (generasi) yang
menurut akal dan adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).
Amin, Kamaruddin. Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009).
Hassan, A. Qadir. Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2.
(Bangil:Al-Muslimun, 1966).
Ismail, M. Syuhudi. Ulumul Hadist I-IX.
(Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993).
Saefullah, Yusuf, dan Cecep Sumarna. Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004).
Smeer, Zeid B. Ulumum Hadist Pengantar Studi
Hadist Praktis. (Malang, UIN- Malang Press).
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007).
Tags:
hadits