PENDAHULUAN
Kita sebagai umat islam, khususnya
Islam Ahlussunah wal Jama’ah diharapkan tidak hanya mempelajari, mendalami, dan
mengamalkan ilmu al Qur’an melalui Ulumul Qur’an tetapi juga bisa mempelajari, mendalami,
serta mengamalkan ilmu hadits Rasulullah melalui Ulumul Hadits. Karena hadist
Rasulullah berfungsi sebagai penyempurna dan penjelas dari isi al Qur’an.
Sedangkan Ulumul Hadits itu sendiri
memiliki banyak cabang ilmu-ilmu yang tentu saja masih berkaitan dengan ilmu
hadits.
Cabang-cabang ilmu tersebut di
antaranya adalah Ilmu Rijal al Hadits,
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu ‘Ilal Al Hadits, Ilmu Gharib Al Hadits, Ilmu
Mukhtalif Al hadits, Ilmu Nasikh wa
Mansukh, Ilmu Fann Al Mubhamat, Ilmu Asbab Wurud Al Hadist, Ilmu Tashrif
wa Tahrif, Ilmu Mushthalah A Hadits, dll.
Perlu diketahui bahwa hukum pada
suatu hadits tidak mutlak benar dan berlaku selamanya melainkan ada kalanya
perubahan-perubahan atau penyempurnaan-penyempurnaan. Dalam hal ini, cabang ilmu
hadits yang mempelajari permasalahan tersebut adalah ilmu Nasikh Mansukh Hadits.
Dalam makalah kami ini, ilmu Nasikh Mansukh tersebut akan dibahas
lebih lanjut dan mendetail mengingat akan pentingnya kita mempelajari ilmu
hadits.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi kita. Amin.
ILMU NASIKH DAN MANSUKH HADITS
Pengertian Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga
seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan
atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh penetap
syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang
kemudian.
Ilmu Nasikh dan Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahasa
tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap
ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih
dahulu disebut ilmu Nasikh
wa’l-Mansukh.
Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara
lengkap ialah:
هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث
الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان
منسوخا وما تاخره كان ناسخا.
”Ilmu
yang membahas hadis-hadis yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi
hukum yang terdapat pada sebagianya, karena ia sebagai nasikh (penghapus)
terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh
(yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh
dan hadis terakhir adalah sebagai nasikh.”
Ilmu ini sangat bermanfaat untuk
pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul
yang tanaqud yang tidak
dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada
tingkat Mukhtalif al-Hadits, kedua
hadits maqbul tersebut dapat
diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan), hadits maqbul yang tanakud tersebut di-tarjih
atau di-nasakh.
Bila diketahui mana diantara kedua hadits yang di-wurud-kan lebih dulu dan yang di-wurud-kan kemudian, wurud
kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan, sedangkan yang lebih dulu tidak
diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh,
yang duluan disebut mansukh.
Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara
lain berupa cara mengetahui nasakh,yakni
penjelasan dari Rasulullah Saw. Sendiri, keterangan Sahabat dan dari tarikh
datangnya matan yang dimaksud.
Pentingnya Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Mengetahui nasikh
dan mansukh merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin
mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu
hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh
sebab itu, para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya
sebagai satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadits.
Mereka
mendefinisikannya sebagai berikut : “Ilmu nasikh dan mansukh
adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang tidak
mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukumi sebagai nasikh
dan yang lain sebagai mansukh. Hadits yang lebih dahulu disebut mansukh,
dan hadits yang datang kemudian menjadi nasikh”.
Cara mengetahui Nasikh wa Mansukh Hadits
Nasikh dan
Mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah-satu dari beberapa hal berikut
ini:
1. Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda
beliau,
كنت نهيتكم
عن زيادة القبور فزوروها فانها نذكر الاخره.
“Aku dahulu telah melarang
kalian untuk ziarah kubur, maka (sekarang) lakukanlah ziarah, karena dapat
mengingatkan akhirat.”
2.
Perkataan Sahabat.
3. Mengetahui sejarah seperti hadits Syaddad bin
Aus,
افطر الحا جم
والمحجوم.
“Orang yang membekam dan
yang dibekam batal puasanya.” Dinasakh oleh hadis Ibnu Abbas,
“Bawasanya Rasulullah berbekam sedangkan beliau sedang Ihram dan puasa.”
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada
tahun 8 hijriah ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedangkan Ibnu Abbas
menemani Rasulullah dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama. Seperti hadits yang berbunyi,
من شرب الخمر
فا جلد وه فان عاد فيْ الرابعة فقتلوه.
“Barang siapa yang minum
khamar maka cambuklah dia, dan jika kembali mengulangi yang keempat kalinya,
maka bunuhlah dia.” Imam An-Nawawi berkata, “Ijma’ ulama menunjukan
adanya naskh terhadap
hadits ini.” Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi
menunjukan adanya nasikh.
Syarat – Syarat Nasakh
1. Adanya
mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa
hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
2.
Adanya mansukh bih (yang digunakan
untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3.
Adanya nasikh (yang berhak
menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
4. Adanya
mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil
baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau
yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.
Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany
mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
1.
Adanya dua hukum yang saling
bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara
sekaligus dalam segala segi.
2.
Ketentuan hukum syara’ yang berlaku
(menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat
atau dihapus.
3.
Harus diketahui secara meyakinkan
perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan
ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.
Faedah/Pentingnya Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadis
Mengetahui
ilmu nasikhwa mansukh adalah termaksud kewajiban yang penting bagi orang-orang
yang memperdalam ilmu-ilmu syariat. Karena seorang pembahas ilmu syariat tidak
akan memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa
mengetahui dalil-dalail nash yang sudah dinasakh dan dalil-dalil yang
menasakhnya. Atas dasar itulah al-Hazimiy berkata: “Ilmu ini termaksud sarana
penyempurnaan ijtihad, sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama
didalam melakukan ijtihad itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari
dalil-dalil naqli (nash) dan menukuil dari dalil-dalil naqli itu haruslah
mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya.
Memahami kitab hadits menurut yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak
mengorbankan waktu, akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah
menginstimbatkan hukum dari dalil-dalil yang tidak jelas penunjuknya. Diantara
jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak
tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan mana pula dalil
yang terkemudian dan lain sebagainya dari segi makna.
Perhatian para ulama terhadap Ilmu Nasikh wa Mansukh
Para ulama
banyak yang menaruh perhatian khusus dalam ilmu ini. Imam Syafi’i adalah
termaksud ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu Nasikh wa Mansukh.
Kitab-kitab Nasikh dan Mansukh
Sebenarnya
ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak pendewanan hadis pada awal abad
pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri.
Kelahiranya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah As-Sudusy
(61-118) H.) dengan tulisan beliau yang diberi judul “An-Nasikh wa’l-Mansukh”. Hanya perlu disayangkan bahwa kitab
tersebut tidak bisa kita manfaatkan, lantaran tiada sampai kepada kita.
Pada tahun-tahun yang berada diantara abad kedua dan ketiga, bangunlah
ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh wa’l-Mansukh. Diantara sekian banyak
kitab nasikh yang masyhur diabad ini ialah kitab Nasikhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, buah karya Al-Hapidh Abu Bakar
Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (261 H), rekan Imam Ahmad. Kitab yang terdiri dari
tiga juz kecil-kecil itu juz ketiganya didapatkan di Daru’l-Kutubi’l-Mishriyah.
Kitab “Nasukhu’l-Hadits wa
Mansukhuhu”, karya muhaddits Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad Al-Bagdady, yang
lebih populer dengan nama kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385) adalah kitab nasikh
dan mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita manfaatkan. Kitab ini
terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan (manuskrip). Yang sebuah berada di
Perpustakaan Ahliyah (nasional) di Paris dan yang sebuah lagi disaimpan di
Perpustakaan Escorial (Spanyol)
Kemudian setelah itu keluarlah kitab “Al-I’tibar
fi-Nasikh wa’l-Mansukh mian’l-Atsar”. Karya Al-Hafidh Abu Bakar Muhammad
bin Musa Al-Hazimy (548-584 H.). beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang
terdahulu dalam ilmu ini, sehingga kitab yang disusunya sudah mencangkup
seluruh buah pikiran ulama-ulama itu. Sistematisnya diatur menurut bab-bab
fiqhiyah. Pada setiap bab fiqhiyah dikemukakan hadits-hadits yang nampaknya
berlawanan itu dengan tidak mengabaikan pendapat-pendapat dari para ulama dan
sekaligus nasikh dan mansukhnya. Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat
beliau sendiri dalam merajihkan suatu pendapat atas pendapat lain. Pada tahun1319
H. Kitab itu dicetak di India, kemudian pada tahun 1346 H. Dicetak di Kairo dan
pada tahun yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Raghib Ath-Thabakhi
al-Halaby.
Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
1.
Nasakh Hadis Dengan Hadis
Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan hadis, yiaitu
mutawatir
dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya
ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging korban. Larangan-larangan
ini pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri yang membenarkannya.
Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadis dengan hadis.
2.
Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an
Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis dengan
al-Qur’an. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur
berhujah bahawa nasakh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh
perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke
arah Baitul Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an.
Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان
اول ماقد المد ينة نزل على احداده من الاء نصاروانه صلى قبل بيت المقد س سته عشر
شهرا اءوسبعه عشر شهر.
Daripada al-Barra’ bin `Azib bahawa perkara yang dilakukan oleh
Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari
kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama
enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadis ini
telah dinasakhkan oleh ayat berikut:
Sesungguhnya Kami sering
melihat mukamu mengadah ke langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu
ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kr arah Masjidil Haram. Dan
dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah:
144)
3.
Nasakh al-Qur’an Dengan Hadis
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan al-Qur’an
sementara Imam al-Syafie menegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya
mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya
tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah
dengan ayat wasiat kepada ibu bapak dan kaum kerabat.
Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu
bapak dan kaum kerabat secara ma`ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa. (al-Baqarah:180)
Ayat ini
telah dimansukhkan dengan hadis:
عن ابي امامة, قال: سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسم يقو ل: " ان الله قد أعطى كل ذي حق حقه, فلا وصية
لوارث" ابو داود
Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk
waris (orang yang berhak menerima pusaka).”
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahwa ayat
wasiat itu
sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.
4.
Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui Oleh Semua
Oleh karena penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali
ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadis itu dimansukhkan
ataupun tidak. Tidak semua hadis yang dikatakan sebagai telah mansukh
dipersetujui oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat juga, hadis yang
disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi
menyebut: “Banyak hadis yang didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah
dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada pula
yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing pada
tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan
hadis yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan
itu bukan menunjukkan nasakh.
Contoh
Hadits Nasikh dan Mansukh
1. Memakan makanan yang dimasak membatalkan
whudu
Sebagian ulama berpendapat wajib berwuduk karna memakan makanan yang dimasak
apabila hendak melaksanakan Sholat. Sebagian yang lain mengatakan hukum itu
sudah tidak ada karena ada hadis yang menasakhkannya. Golongan yang pertama
berhujah dengan hadis yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Zaid bin Tshabit:
زيد بن ثابت
قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول" الوضوء مما مست النار" (مسلم كتاب الحيض باب الوضوء مما مست النار (
Wajib berwuduk karena
memakan makanan yang dimasak.
Hadis Abu Hurairah:
أن عبدالله بن إبراهيم بن قارظ وجد
أبا هريرة يتوضأ على المسجد. فقال: قال: إنما أتوضأ من
أثوار أقط أكلتها. لأني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول" توضؤوا مما مست النار"(مسلم كتاب الحيض باب الوضوء مما مست النار)
Sesungguhnya Abdullah bin
Ibrahim bin Qarit mendapati Abu Hurairah sedang berwuduk dekat dengan
masjid, lalu beliau berkata: “Sebenarnya aku berwuduk karena beberapa potong keju
yang telah aku makan karena aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Hendaklah kamu berwuduk setelah memakan makanan yang dimasak”
Imam al-Tirmizi menyebutkan dalam bab ini terdapat beberapa hadis yang
diriwayatkan daripada Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zaid bin Thabit, Abu Talha,
Abu Ayyub dan Abu Musa. Sebagian ulama berpendapat whudu dimestikan apabila
memakan makanan yang telah dimasak.
Menurut al-Hazimi, antara ulama yang berpandangan demikian ialah Ibn Umar,
Talhah, Anas bin Malik, Abu Musa, `Aishah, Zaid bin Thabit, Abu Hurairah, Abu
`Izzah al-Hazali, Umar bin Abdul Aziz, Abu Mijlaz, Abu Qilabah, Yahya bin
Ya`mar, Hasan al-Basri dan al-Zuhri. Tetapi kebanyakan ahli ilmu dan para
fuqaha berpendapat tidak perlu berwuduk karena memakan makanan yang dimasak.
Mereka menganggap itu adalah perkara yang terakhir yang dilakukan oleh
Rasulullah s.a.w.
Hadis-hadis yang menjadi hujah mereka ialah:
Dari Ibn Abbas:
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki kambing yang hadapan,
kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.”
Hadis `Amr bin Umayyah al-Dhamri:
Bahwa dia melihat
Rasulullah s.a.w. memotong kaki kambing yang hadapan yang dimakannya, kemudian
sholat tanpa mengambil wuduk.
Hadis Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w.
Dari Maimunah, isteri
Rasulullah s.a.w. katanya: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki
kambing yangdihadapanya dekat dengan beliau, kemudian sholat tanpa mengambil
wuduk.”
Dari Jabir katanya: Perkara
terakhir daripada Rasulullah s.a.w. ialah tidak berwuduk karena memakan makanan
yang dimasak dengan api.
KESIMPULAN
Ilmu nasikh dan mansukh hadits
adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang terkemudian
sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan
hadits yang datang lebih dahulu.
Ilmu nasikh dan mansukh sudah ada
sejak periode hadits pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam
bentuk ilmu yang berdiri sendiri.
Syarat-syarat nasakh yaitu:
·
Adanya mansukh (yang dihapus)
·
Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus)
·
Adanya nasikh (yang berhak menghapus)
·
Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah
akil baligh atau mukallaf)
DAFTAR
RUJUKAN
Tags:
hadits